-->

Nafsu di Ujung Tahun

Tidak ada komentar

Nafsu di Ujung Tahun

Beberapa hari terakhir nafsu datang lagi. Bukan. Malah beberapa minggu terakhir. Ia menguasaiku. Aku seperti seekor keledai, selalu jatuh ditempat yang sama. Kupikir mudah melawannya. Tapi semakin lama semakin berat. Bisikan-bisikannya semakin kuat. Dia berkembang menjadi sesuatu yang berbeda dari apa yang pertama kali kutemui. Aku terlalu meremehkan. Barangkali Tuhan mengujiku untuk menjadi lebih hebat lagi.

"Tapi, Tuhan, bukankah aku terlalu muda untuk melalui ini. Hamba mohon ampun, karena mengeluh kepada Engkau Yang Maha Tahu Segalanya dan Maha Bijaksana. Hanya saja, Tuhan, hamba selalu terjebak dalam masalah yang sama. Wahai, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Mohon mudahkanlah jalan pikiran hamba. Mudahkanlah hamba di dunia. Mudahkanlah hamba menjadi seorang muslim yang berakhlak dan berbudi luhur. Jauhkan godaan nafsu pada hidupku. Butakan mata hamba pada hal-hal yang demikian. Karena hamba adalah hamba yang lemah. Yang masih mencari makna akan hidupnya. Yang masih belajar. Mohon mudahkanlah."

Tulisan ini ditulis dalam keadaan sedang nafsu. Aku melampiaskannya dengan mendistraksi pikiranku ke hal lain, ke dalam tulisan. Pikiranku adalah aku. Maka aku yang menguasainya. Takkan kubiarkan nafsu menggerogotiku. Menghilangkan kewibawaanku di depan sukma-sukmaku yang lain. Takkan kubiarkan dia memimpinku, menyuruhku melakukan hal menjijikan–masturbasi.

Di dunia perempuan begitu cantik dan seksi. Tak ada yang kurang dari ciptaan-Nya. Namun, kecantikan itu bisa membawaku ke tempat kekal yang kelam. Ia adalah penyesalan. Penyesalan itu adalah neraka. Aku tak ingin berada di sana. Aku tak ingin mengalaminya.

Tetapi godaan neraka, dibantu dengan setan, pandai merayuku. Wujud cantik itu adalah tipu daya. "Siapa yang menipu? Tuhan 'kah?" Bukan. Tuhan, dalam kitabnya, menunjukkan kecantikan yang lain. Kecantikan yang bisa dirasakan siapa saja. Termasuk mereka yang tak sempurna dalam fisik. Dan mereka yang tak memiliki privilege di dunia, yang terlahir dari keluarga miskin. Kecantikan itu hanya dimengerti oleh jiwa-jiwa yang dirahmati-Nya. "Apakah aku memperoleh rahmat-Nya?"

Malam berganti pagi. Kuraih gelas yang berisi penuh air putih. Suara tegukan dari dalam kerongkongan terdengar jelas. Batuk sedikit terobati. Kuletakkan gelas di depan cermin. Dalam keadaan remang-remang, kulihat cermin, kupandangi sosokku. Apakah patut sosok ini dikuasai nafsu. Kulihat dengan cermat. Bertanya lagi. Apakah patut dikuasai nafsu.

Nafsu, nafsu, nafsu. Apakah ia bisa dipuaskan. Akankah dia akan berhenti mengganggu jika kubiarkan dia keluar, melampiaskan apa yang selama ini kucoba tahan. Terkadang, terpikirkan ingin menjadi seperti hewan. Mereka diperbolehkan mengekspresikan nafsunya. Tanpa perlu ijab. Tanpa perlu sosok penghulu. Dan tanpa perlu para saksi.

Kutatap mataku dalam-dalam. Sosok hewan muncul dari bola mataku. Dia telanjang bulat. Menjijikkan. Wajahnya sepertiku. Atau itu memang aku. Menjijikkan. Kubiarkan dia berbuat semauanya, termasuk masturbasi. Menjijikkan. Apakah ini yang Tuhan lihat pada hambanya, termasuk aku. Menjijikkan. Apakah ini yang Rasul lihat pada umatnya, temasuk aku. Menjijikkan. Apakah ini yang almarhum Papa lihat pada anaknya, termasuk aku. Memalukan.

Kududuk di kursi, menyandarkan kepalaku pada punggungnya yang berbalut busa lembut. Kupandangi langit-langit kamar, lega karena berhasil mengatasi nafsu. "Perjuangan ini sulit, ya Tuhan. Sangat sulit. Apakah di masa sekarang banyak yang berhasil mengalahkannya secara permanen?" tanyaku kepada-Nya. Dan Dia tak memberikan jawaban. Atau memang tak ada jawaban.

Nafsu di Ujung Tahun

Komentar