-->

Seratus

Tidak ada komentar

Seratus

Sudah seratus hari Papa meninggalkan kami. Seratus hari yang terasa begitu lama. Seratus hari yang penuh konflik di dalam diriku. Seratus hari yang penuh rindu. Jangan tanya kepada siapa rindu ini aku tuju kalau tak kepada engkau, Papa. Walau kita tak pernah sama dalam memandang hidup. Tapi engkau adalah orang pertama yang selalu kunanti-nantikan dalam hal berpendapat. Apa saja. Termasuk pandangan politikmu.

Pernah terbesit dalam pikiranku. Curiga. Apakah tua nanti aku akan memiliki pikiran yang sama sepertimu. Keras dalam berpolitik pasif. Menghajar perbedaan pendapat dengan logika, dan tentu juga dengan sandaran utamamu: agama. Aku merinding, Papa. Takut jika itu benar terjadi kepadaku. Walau aku tau, kerasmu itu karena rasa cintamu kepada negeri ini yang terlampau tinggi. Tak ada keuntungan yang kau dapatkan dari lelahmu berupaya menyadarkan orang-orang untuk memilih pilihan yang sama sepertimu.

Hari ini, tepat ke-seratus hari engkau pergi. Hari ini, juga, aku mendedikasikan pilihanku kepada Z sebagai presiden selanjutnya. Belum kurasakan tua pada tubuhku, Pa. Tapi, sifat-sifatmu, pikiranmu, mulai tumbuh di dalamnya. Prasangkaku benar. Kurasai ideologimu ada pada kepalaku. Bulu kuduku merinding (lagi), Pa. Bukan karena takut. Tapi karena mengetahui apa yang kuketahui ternyata masih dangkal.

Setelah kau pergi, Pa, kubacai buku-bukumu lagi. Kudalami Islam seperti yang kau inginkan. Kubaca Qur'an. Kuartikan ayatnya. Dan kutafsirkan dengan bukumu, "Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir" karya Muhammad Nasib ar-Rifa'i. Kutemukan pendapat-pendapat menarik yang berlainan dengan pendapat-pendapat yang pernah kuutarakan kepadamu. Seperti yang pernah kau katakan kepadaku. Satu atau dua tahun lagi, pandangan manusia akan berkembang, dengan syarat: jika mereka mau berkembang. "Teruslah mencari", katamu. "Teruslah membaca", wasiatmu.

Salah satu pendapat yang pernah kudiskusikan denganmu adalah persoalan menyembah Tuhan. Kudapatkan sebuah prinsip etika moral dari buku Franz Magnis Suseno, "Etika Moral", bahwa yang terbaik dalam bertindak, berbuat sesuatu, termasuk menyembah Tuhan, adalah dengan ikhlas, tanpa berharap, tanpa pamrih. Kupahami buku Romo Suseno itu lama, hingga kutemukan formula sederhana mengenai moral compass yang sampai saat ini, dalam beberapa tindakan, masih kujadikan pedoman dalam hidupku.

Aku mulai berpendapat, bahwa cara terbaik dan 'benar' dalam menyembah Tuhan adalah dengan ikhlas, yang berarti tak perlu mengharap Surga dari-Nya. Cukup dengan menyembah dengan tulus, tanpa pamrih, dan dengan cinta, maka Tuhan akan memberikan rahmat-Nya sendiri. Jika aku menyembah-Nya karena berharap atas sesuatu, seperti pekerjaan yang baik, istri yang cantik, dan kenikmatan-kenikmatan lainnya, maka cintaku kepada-Nya telah ternoda. Sembah dan cintaku kepada-Nya menjadi tak relevan karena tak ikhlas, karena pamrih. Itu hasil pemikiranku setelah membaca buku "Etika Moral". Tak hanya berlaku untuk menyembah, menolong orang lain, mentraktir orang lain, dan segala hal tindakanku, didasari dengan moral compass itu.

Lalu, setelah sehari mengebumikanmu, intensitasku dalam beribadah berjamaah mulai meningkat. Sebabnya adalah untuk mendoakan agar kau tenang di sana, menjauhkanmu dari siksa kubur-Nya, dan berharap engkau mendapatkan amal jariyah, karena selama ini engkau rutin berjamaah dalam beribadah dan kutiru rutinitasmu itu. Beberapa hari kemudian aku sadar, gelisah, bertanya-tanya, apakah sembahku kepada-Nya masih relevan, padahal ibadahku meningkat karena berharap, karena pamrih, untuk keselamatanmu. Kucari jawaban atas kegelisahan itu. Berminggu-minggu tak kutemukan buku yang tepat untuk menjawab perasaan tak enak ini. Hingga sembilan puluh hari setelah kepergianmu, ketika kubaca Qur'an surah al-A'raf, kutemukan ayat yang berbunyi: "... dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan)." Kalimat 'harapan' pada ayat itu membuatku tertarik. Karena 'harapan' adalah salah satu unsur yang memenuhi 'pamrih'. Ingin kudalami maksud dan artinya. Kuambil buku tafsir Qur'an Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib al-Rifa'i dari dalam rakmu. Kubuka pada bab al-A'raf. Kutemukan pendapat dari Muhammad Nasib al-Rifa'i.

"Ali r.a. tak pernah berkata, 'Tuhanku, tidaklah aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu dan bukan karena menginginkan surga-Mu, namun aku menyembah-Mu karena Engkau adalah Tuhan yang berhak disembah.'" katanya. "Bagaimana Ali r.a. bisa berkata demikian, sedangkan Allah berfirman, '... berdoalah kamu kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap.'" jelas Muhammad Nasib al-Rifa'i mengenai ayat itu.

Muhammad Nasib al-Rifa'i menambahkan bahwa kalimat itu sengaja mencatut nama Ali r.a. guna memperdaya muslim dan sebagian cendekiawannya dari kebenaran Qur'an. Mengetahui kebenaran ini membuatku tertawa senang dan gemetar. Senang karena pencarianku mendapatkan titik terang. Gemetar karena sadar bahwa pemahamanku masih dangkal. Dunia pengetahuan begitu luas. Aku bangga dengan apa yang sudah kubaca, Pa. Terima kasih telah memfasilitasi buku-buku untuk kubaca.

*

Papa, sekarang matahari mulai terbenam. Gelap akan datang. Bagaimana dengan keadaan di bawah sana. Kuharap ilmu dan iman selalu menerangi kuburmu, Pa. Juga, kuharap Munkar dan Nakir bersikap baik kepadamu.

Adzan telah berkumandang. Tanpa perlu melihat ragamu, di dalam imajinasiku sudah terbayangkan kau akan menyuruhku menyudahi kunjungan ini. Memerintahku untuk segera ke masjid. Kucium nisanmu segera. Kuakhiri dengan doa. Al-Fatihah untukmu, Pa.

Komentar