-->

Tak Ada Harapan dari Anak Kedua

Tidak ada komentar

Tak Ada Harapan dari Anak Kedua

Bapak memiliki empat orang anak. Masing-masing mempunyai kelebihan tersendiri, kecuali si nomor dua. Anak sulung pandai berolahraga. Namun, karakter spesialnya bukan itu. Dia mampu berpikir kritis, cepat menanggapi masalah, dan tak memiliki takut. Hasil pertimbangannya memang tidak matang, tapi kecepatannya dalam bertindak patut diapresiasi. Berulang kali ia jatuh, berulang kali pula dia bangkit. Seringnya jatuh-naik, membuatnya jadi lebih berpengalaman. Dia yang kemudian memutuskan permasalahan keluarga. Menggantikan sosok bapak yang telah tiada.

Anak ketiga rajin belajar. Belum diketahui dia menonjol dalam bidang apa. Tapi, kemampuan otaknya dalam hal mengingat sangat menakjubkan. Dia seorang hāfizh Quran. Perkara agama, dia paling unggul diantara anak-anak bapak lainnya. "Daya ingatnya kuat," kata bapak. Satu-satunya anak perempuan, maka patut diistimewakan. Tapi, bebannya sangat berat. Keluarga besar bapak menaruh harapan tinggi padanya, agar kelak menjadi seorang dokter. Bapak telah tiada, harapan itu semakin membebaninya, dengan tekanan dari adik-adik bapak.

Terakhir, si bungsu. Dia memiliki fisik yang lentur. Dia cakap dalam bidang olahraga. Refleknya juga bagus. Dia tak bisa banyak hal selain kedua itu. Logikanya kurang, daya ingatnya kurang, dan keputusannya cenderung asal-asalan. Walaupun begitu, kemampuan fisiknya tak bisa diremehkan. Dia memang anak terakhir, tapi tenaganya yang paling besar diantara anak-anak bapak. Mungkin, suatu saat dia akan menjadi seorang atletis. Tapi bapak telah tiada sebelum kesempatan itu tiba.

Anak kedua tak memiliki apa-apa, tapi bisa melakukan banyak hal. Hanya bisa, tapi tak ahli, pun tak menguasai. Dia bisa berolahraga, tapi hanya sekadar bisa, tak terlalu atletis. Dia pandai mengingat, tapi mudah terdistraksi. Dia cukup tahu soal teknologi, cukup mengerti soal komputer, juga paham soal isu sosial, politik, dan budaya, tapi tak tahu cara menyikapinya. Dia suka menulis, sedikit bisa menggambar, tapi tak memiliki jiwa seni. Dia bisa belajar banyak hal, tapi tak ada satupun yang benar-benar dia kuasai.

Akulah anak kedua. Tak memiliki sesuatu yang spesial. Hanya suka membaca dan membaca. Memuaskan rasa penasaran. Namun, waktu tak pernah mampu memuaskannya. Kalau rasa penasaran terhadap sesuatu telah terpuaskan, itu tak memiliki nilai secara ekonomis. Bahkan ditukar dengan sebungkus permenpun takkan ada yang sudi. Aku seperti seorang samurai yang sedang mencari nama di masa industri. Memaksakan kejayaan pedang, disaat ratusan pistol diproduksi. Terkenalpun tidak, mati bodoh iya. Tapi aku masih suka membaca, tak peduli takdir seperti apa. Sudah kebal disebut bodoh dan buang-buang waktu. Tak ada tempat di telingaku untuk ucapan-ucapan semacam itu. Kecuali kata yang keluar dari mulut bapak, kata terakhirnya sebelum tiada, "selesaikan skripsimu, jangan buang-buang waktu." Aku menangis di depan jasadnya. Malu, karena dia pergi disaat aku belum jadi apa-apa.

Bapak pergi disaat aku tak memiliki harapan apapun untuk dibanggakan. Waktu kuhabiskan untuk masa muda yang sia-sia. Penyesalan datang beserta badai hitam di belakangnya. Tapi buku mengajarkan banyak hal, termasuk bersikap pada sebuah kegagalan, dan bertindak pada saat keadaan yang paling sulit datang. Buku mengajarkan keteguhan hati. Bagaimana menyikapi orang yang dicintai pergi. Buku membuatku cepat bangkit dari kesedihan.

Aku adalah anak kedua, yang tak memiliki bakat apa-apa. Tapi aku adalah anak yang memiliki empati lebih besar daripada ketiga anak bapak lainnya. Apakah bisa kusebut itu sebagai sebuah keunggulan?

Aku adalah anak kedua, yang tak tau potensi apa yang terdapat dalam tubuhku. Hanya memiliki moral, mengandalkan etika, yang sudah ada sejak kecil, dan berkembang setelah membaca buku. Apakah itu sudah cukup untuk dibanggakan?

Tak ada harapan dari anak kedua, karena aku lari dari kekangan yang bernama 'impian'. Tapi, kepergian bapak melahirkan impian baru yang bernama 'menafkahi'. Dulu, aku hidup tak bergantung bapak, dan tak memiliki tekanan apapun. Sekarang bapak tiada, meninggalkan ibu dan dua adikku. Aku ingin mereka bertiga hidup lebih dari cukup. Inilah impian baruku yang bernama 'menafkahi'. Peran baru ini tak kuanggap sebagai beban, karena aku sudah membaca buku. Tak ada harapan dari anak kedua, tapi aku siap menjadi punggung keluarga.

Tak Ada Harapan dari Anak Kedua


Komentar