-->

Prolog: Tujuh Tahun Sia-Sia

Tidak ada komentar

Prolog: Tujuh Tahun Sia-Sia

Udara malam Agustus, dingin tak ada hentinya. Sarung yang menyelimutiku tak cukup kuat melawannya. Kuambil kaos kaki di meja dekat kepalaku. Tak perlu berdiri, dengan posisi masih rebahan aku dapat meraihnya. Masih dengan posisi rebahan, kupasangkan mereka satu persatu dimulai dari kaki kanan. Dengan begini, dingin tak mengusikku lagi.

Kupandangi langit-langit kamar, dengan tangan memegang ujung sarung di atas dada. Tanganku merasakan detak jantung yang berdebar hebat. Gelisah. Aku tak bisa berpikir dengan bebas sebagaimana biasanya. Rupanya ketakutan mengusikku, membawaku ke dalam kelamnya khayalan tentang masa depan. Aku menjadi ragu akan masa depanku sendiri. Dingin memang hilang, tapi berganti menjadi rasa takut.

Aku juga ingin sarjana. Berharap gelar itu dapat membahagiakan orang tua. Karena sarjana bukan hanya tanda lulus dari perguruan tinggi, tapi juga sebagai bukti bagi orang tua yang telah berhasil menyekolahkan anaknya.

Aku berusaha memahami posisi kedua orang tuaku, terutama ayahku, tentang ketidaklulusanku di perguruan tinggi. Pening di kepala, memikirkan anak kedua mereka tak selesai juga. Padahal sudah tujuh tahun berlalu, tapi tugas akhir tak kunjung berakhir.

Bising nyamuk menghampiri, gelisah berubah menjadi amarah.

"Nyamuk brengsek!", makiku.

"Datang tak tau waktu yang tepat."

Bising tak ada hentinya mengganggu. Nyamuk ke sana kemari, bak ejekan yang merendahkan martabat.

"Ahhh, anjing!"

Kududukkan tubuh, berniat untuk berdiri dan membakar obat anti nyamuk. Posisi nyaman barusan membuatku ogah-ogahan melakukannya. Masih dalam posisi duduk di atas kasur, aku menggaruk-garuk kepalaku bersamaan dengan mulut yang menguap. Ngantuk sudah kurasakan sejak tadi. Tapi pikiran sulit diistirahatkan. Dia selalu melawan yang aku mau. Masih dalam posisi duduk di atas kasur, sesekali aku menepuk nyamuk yang datang.

Seperti hidup, tidur nyaman adalah tujuan yang ingin kucapai (sekarang). Tapi dingin, nyamuk, dan pikiran negatif, datang sebagai masalah yang menganggu tujuan itu.

Dingin adalah kehendak alam, tak bisa kuhilangkan ataupun kurubah menjadi hangat. Akulah yang mengantisipasinya dengan memakai pakaian tebal. Dingin tetap ada, tapi aku hangat karena pakaian yang kukenakan.

Nyamuk adalah masalah eksternal. Bisa kuatasi dengan obat nyamuk yang kubakar. Nyamuk lenyap, mati karenanya.

Pikiran negatif adalah bagian innerku. Dia tak terlihat, tapi dampak yang dibuatnya mengerikan. Dia juga yang paling sulit diatasi. Sekalipun suasana hangat dan nyamuk tak ada, kalau pikiran negatif masih ada, tak bisa kubiarkan raga tertidur. Sebaliknya, sekalipun suasana dingin dan nyamuk muncul, kalau pikiran sudah bilang waktunya tidur, raga akan tertidur. Jadi, prioritas pertama dalam penangan masalah adalah pada pikiran negatif.

Dalam jeda ingin membakar obat anti nyamuk, kutemukan jawaban lain untuk mengatasi gangguan nyamuk. Adalah anti nyamuk dalam bentuk lotion, yang sudah kubeli dan kuletakkan di meja samping kepalaku. Aku ingat, bahwa aku pernah membelinya, karena malam-malam sebelumnya ancaman nyamuk sudah ada.

Tak perlu berdiri, cukup duduk di atas kasur, kuoleskan lotion itu di kulit. Dengan begini nyamuk tak akan berani mendekat. Juga udara tak tercemar oleh asap. Andaikan tak ada jeda kemalasan, mungkin aku akan melakukan hal yang tak efektif. Kembali kutarik ujung sarungku dan memegangnya di atas dada. Kupejamkan mata, memaksa pikiran untuk tidur. Masih ada hari besok yang harus dihadapi.

***

Langit-langit masih kupandangi, tangan masih memegang ujung sarung di atas dada. Tak ada bising nyamuk, tak ada gerakan menepuk nyamuk. Aku duduk di atas kasur juga bukan sebuah kenyataan. Semua yang terjadi tadi hanyalah khayalan dari pikiran. Rencana membakar obat anti nyamuk, mengoleskan lotion anti nyamuk, dan menggaruk-garuk kepala, hanyalah imajinasi. Sudah dua jam aku memandangi langit-langit. Tak bisa tidur, karena pikiran tak mau berhenti berkhayal, termasuk mengkhayal kejadian tadi.

Dua jam hanya untuk berkhayal? Perbuatan sia-sia telah kulakukan hari ini. Jika aku terlalu lama memikirkan kenapa aku bisa terlena dalam dua jam tadi, itu akan membuat perbuatan sia-sia yang kulakukan bertambah. Mulanya dua jam bisa menjadi tiga jam, atau empat jam, atau lebih. Kucoba uraikan khayalan tadi dalam bentuk tulisan. Membuat seakan-akan khayalan tadi bernilai, terutama bagiku sendiri.

Tujuh tahun hanya untuk hal yang sia-sia? Jika aku terlalu lama memikirkan ketakutan itu, kegagalan akan menghantuiku lebih dari tujuh tahun lamanya. Kucoba uraikan tujuh tahun yang telah kualami ketika masih kuliah dalam bentuk tulisan. Membuat seakan-akan kegagalan ini bernilai. Paling tidak untukku sendiri.

Kututup smartphoneku, dan meletakkannya di atas meja, di samping kasur, di dekat kepala. Sudah kutuliskan sketsa yang ingin kubuat. Kali ini takkan kubiarkan gagal. Perasaanku membaik. Pikiran negatif berubah menjadi semangat. Dalam jeda menuju tidur malam ini, kutemukan jawaban lain untuk menemukan tujuan hidupku. Andaikan tak ada jeda, mungkin aku akan melakukan hal yang tak efektif. Kembali kutarik ujung sarungku dan memegangnya di atas dada. Kupejamkan mata atas kehendak pikiran. Masih ada hari besok yang harus dihadapi, katanya.


Ilustrasi oleh Inzivayi (Instagram: @inzivayi)

Komentar