-->

Konfigurasi Politik yang Terjadi di Indonesia pada Masa Pemerintahan Soeharto

Tidak ada komentar

http://kucintanegaraindonesia.blogspot.com/2018/12/presiden-negara-indonesia.html

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dilihat dari beberapa pemerintahan, berawal dari Soekarno, Soeharto, hingga kemudian Joko Widodo, terdapat korelasi antara bentuk kekuasaan yang digunakan oleh kepala negaranya dengan produk hukum yang dihasilkan. Orde Baru misalnya. Soeharto memimpin Indonesia selama hampir 36 tahun lamanya. Mulanya diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia untuk menggantikan posisi Soekarno yang lebih memperlihatkan kediktatorannya sebagai presiden dibandingkan sebagai seorang pemimpin bangsa. Soekarno mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dinilai terlalu subjektif. Misalnya Tap MPR tentang pembubaran dewan perwakilan rakyat dan konstituante. Begitu juga dengan Tap MPR yang berisi penegasan kepemimpinannya yang tanpa batas masa jabatan atau lebih mudahnya menjadi presiden seumur hidup. Era Soekarno semakin goyah setelah mahasiswa melakukan sebuah aksi, menuntut dibubarkannya PKI. Hal ini disebabkan PKI yang menjadi andalan untuk menjadi mitra kerja pemerintah ternyata membelot dan justru melakukan pemberontakan. Setelah melalui perdebatan panjang dan berbagai pro dan kontra akan kebijakannya, pada tanggal 7 Maret 1967, dalam ketetapan Sidang Istimewa MPRS, Soekarno lengser dari jabatannya dan berakhirlah sudah kekuasaan orde lama dengan dijadikannya Soeharto Presiden Kedua Republik Indonesia.

Menjabat sebagai presiden selama 32 tahun, mulanya membawa harapan seluruh bangsa, baik mahasiswa maupun rakyat-rakyat lainnya, tetapi Soeharto justru termakan akan kekuasaan. Lamanya kekuasaannya membuat Soeharto terus mengincar kursi-kursi jabatan. Berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menahan kekuasaan. Saudara-saudara dan kroni-kroninya, yang sependapat dengan dia, turut pula diberikan kekuasaan. Lama-kelamaan tak ada bedanya pemerintahan Soekarno dengan Soeharto, diktator dan otoriter.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konfigurasi politik yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto?

PEMBAHASAN

A. Teori

1. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law menyebutkan bahwa ada dua sistem norma, yaitu sistem norma yang statik (nomostatic) dan sistem norma yang dinamis (nomodynamic). Sistem norma yang statik (nomostatics) adalah sistem yang melihat pada isi norma. Menurut norma statik, suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau norma khusus tersebut dapat ditarik dari suatu norma umum. Penarikan norma khusus dari norma umum tersebut diartikan bahwa norma umum tersebut dirinci menjadi norma yang khusus dari segi isinya. Sementara sistem norma dinamik (nomodynamics) adalah sistem norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara pembentukannya atau penghapusannya.

Peraturan perundang-undangan merupakan implementasi dari norma hukum yang ada di dalam masyarakat. Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama dan lainnya terjadi secara tidak tertulis tetapi tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Norma hukum yang tertulis inilah yang disebut dengan peraturan perundang-undangan.[1] 
________
[1] Ryan Muthiara Wasti, “Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum Pada Masa Pemerintahan Soeharto di Indonesia”, Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, hlm. 80-82.

2. Teori Perwakilan Rakyat

Perwakilan politik yang diejawantahkan dengan parlemen dapat dipahami sebagai kehadiran anggota-anggota kelompok ke dalam lembaga-lembaga politik. Kehadiran ini diartikan tidak hanya sekadar memenuhi kehadiran, namun hadir dengan segala ide, pemikiran dari kelompok yang diwakilinya. Pada tingkat yang sederhana, para wakil bertindak demi kelompok yang mereka wakili. Namun, dalam demokrasi representatif sebagian besar dari mereka yang dipilih untuk badan pembuat undang-undang bertindak bagi banyak kelompok yang berbeda, dan sebagian besar juga berusaha untuk mengatasi kepentingan-kepentingan kelompok yang sempit dan terutama bertindak bagi bangsa atau komunitas yang dilayani itu. Dengan prinsip perwakilan sebagai pihak yang merepresentasikan kepentingan orang lain, maka timbul sebuah pertanggungjawaban yang berhubungan dengan tindakan yang diambil sebagai bentuk penyaluran aspirasi dan bersifat formal di lingkungan jabatannya. Perwakilan politik secara umum terdiri atas beberapa komponen yaitu:
  1. pihak yang mewakili (wakil, organisasi, gerakan, lembaga negara, dan lain-lain);
  2. pihak yang diwakili (konstituen, klien, dan lain-lain);
  3. sesuatu yang sedang diwakili (pendapat, perspektif, kepentingan, wacana, dan lain-lain);
  4. pengaturan di mana aktivitas representasi berlangsung (konteks politik).
Sehubungan dengan komponen tersebut, Hanna Pitkin mengemukakan di dalam bukunya the concept of representation bahwa salah satu teori representasi adalah descriptive representative, yaitu gagasan bahwa wakil terpilih dalam demokrasi harus mewakili tidak hanya diekspresikan dari konstituen mereka (atau bangsa secara keseluruhan), tetapi juga orang-orang dari karakteristik deskriptif mereka yang secara politik relevan, seperti wilayah geografis kelahiran, etnisitas pekerjaan, atau gender. Menurut ide ini, badan terpilih harus menyerupai sampel yang representatif dari para pemilih mereka sehingga mewakili karakteristik luar konstituen, misalnya perbandingan perempuan 50% dan 20% kulit hitam, maka legislator yang mewakilinya juga harus 50% perempuan dan 20% kulit hitam. Teori deskriptif representatif ini diperkuat dengan pendapat Williams yang menjelaskan bagaimana perwakilan perlu memediasi hubungan perwakilan-konstituen dalam rangka membangun kepercayaan.

Kepercayaan adalah landasan untuk akuntabilitas demokratik. Williams menunjukkan pola pengkhianatan oleh warga kulit putih yang tidak mempercayai wakil selain dari kulit putih juga atau institusi mereka sendiri, maka hubungan ketidakpercayaan tersebut bisa setidaknya sebagian diperbaiki jika kelompok yang kurang beruntung diwakili oleh anggota sendiri. John Stuart Mill menyatakan bahwa sistem proportional representation adalah sebuah sistem yang paling baik karena sistem ini mampu menciptakan parlemen yang menggambarkan kharakteristik masyarakat karena ada peluang bagi partai kecil atau minoritas untuk memiliki wakil di parlemen sepanjang partai tersebut memenuhi kuota suara untuk memenangkan satu kursi. Menurut Jimly Asshiddiqie, keseimbangan antara kedua kepentingan rakyat dengan kepentingan nasional akan dapat dijamin apabila kedekatan antara rakyat dengan wakilnya dapat dikaitkan dengan fungsi keterwakilan secara fisik dan keterwakilan secara substantif tersebut. Kedekatan wakil rakyat secara fisik dengan rakyat dapat meningkatkan kinerja dari para wakil serta dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.[2]
________
[2] Ibid., hlm. 82-84.

3. Teori Hukum Responsif

Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Law and Society in Transition: Toward Responsive Law menyebutkan ada tiga bentuk hukum yang dipengaruhi oleh politik hukum suatu negara yaitu:

1) Represive Law: governing power is represive when it gives short shrift to the interests of the governed, that is, dispossed to disregard those interest or deny their legitimacy. The characteristic of represive law is:
  • Legal institutions are directly accessible to political power; law is identified with the state and subordinated to raison d‟etat.
  • The conversation of authority is an overriding preoccupation of legal officialdom. In the official perspective that ensues, the benefit of the doubt goes to the system, adn administrative conveninence weighs heavily.
  • Specialized agencies of control, such as the police, become independent centers of power, they are isolated from moderating social contexts and capable of resisting political authority
  • A regime of dual law institutionalizes class justice by consolidating and legitimating patterns of social subordination.
  • The criminal code mirrors the dominant mores, legal moralism prevails.
2) Autonomous Law; the chief characteristic of this system is the formation of specialized, relatively autonomous legal intitutions that claim a qualified supremacy within defined spheres of competence. Another attributes of autonomous law may be summarized as follows:
  • Law is separated from politics.
  • The legal order espouses tho model of rules
  • Procedure is the heart of law
  • Fidelity to law is understood as strict obedience to the rules of positive law.
3) Responsive Law: presumes that purpose can be made objective enough and authoritative to control adaptive rule making. Responsive law presupposes a society that has the political and make the neccesary commitments.

Salah satu dari tiga jenis teori hukum tersebut yaitu Responsive Law.
A third type of law stripes to resolve that tension, we call it responsive, rather than open or adaptive, to suggest capacity for responsible, and hence discriminate and selective, adaptation. A responsive institution retains a grasp on what is essential to its integrity while taking account of new forces in its envirounment.
Jenis ketiga yang disebutkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick yaitu hukum responsif yaitu hukum yang memiliki sensitivitas terhadap permasalahan di lingkungannya namun bertanggungjawab. Itulah mengapa tidak disebut dengan hukum adaptif tetapi responsif, dimana pada kata adaptif hanya ada unsur empati dan penyesuaian dengan lingkungan saja tanpa rasa tanggungjawab.[3]
________
[3] Ibid., hlm. 84-86.

B. Jawaban Dari Pokok Permasalahan

Pada masa Soeharto, dukungan militer menjadi sebuah unsur yang tidak bisa dilepaskan. Hal ini juga dipengaruhi oleh adanya prinsip yang dipegang di awal pemerintahan Soeharto yaitu melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen yang tercermin dari beberapa kebijakannya. Namun, pada kenyataannya, semua kebijakan demokrasi ekonomi dan politik tidak sesuai dengan UUD 1945. Politik hukum lama kelamaan menjadi politik kekuasaan yang diperankan Soeharto sebagai sebuah alat untuk mempertahankan jabatan yang sudah ada ditangan. Dalam hal demokrasi politik misalkan, Soeharto menerapkan adanya Penelitian Khusus (Litsus) bagi calon anggota legislatif yang berdasar pada Keppres Nomor 16 Tahun 1990 dengan tujuan baik untuk membersihkan dan menertibkan tubuh aparatur negara dari bahaya komunis dan kekuatan ekstrim lainnya. Namun, kenyataannya Litsus ini tidak lebih dari sekadar campur tangan kekuasaan untuk menentukan siapa calon-calon legislatif terpilih.[4]
________
[4] Ryan Muthiara Wasti, “Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum Pada Masa Pemerintahan Soeharto di Indonesia”, Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, hlm. 86-87.

Ada banyak kebijakan yang ternyata menjadikan negara Indonesia ini dari sistem demokrasi menuju otoriter terjadi, padahal yang diharapkan dari penggantian Soekarno ke Soeharto adalah terwujudnya Indonesia yang demokratis. Oleh karena itu, penting untuk melihat sejauh mana kediktatoran Soeharto dalam melaksanakan politik hukumnya di Indonesia. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menyebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan didasarkan pada Undang-Undang Dasar. Hal ini mencerminkan bahwa kedaulatan berada di atas segala di atas segalanya. Kedaulatan rakyat yang disebut juga dengan supremasi rakyat merupakan salah satu unsur yang ditempatkan paling kuat dalam bentuk pemerintahan yang demokratis.[5]
________
[5] Ibid., hlm. 87.

Helena Catt menegaskan mengenai prinsip kedaulatan rakyat yaitu: “control to ideas of representatives democracy is the idea that people have power because they choose representatives are regularly accountable to the voters for the decisions that they make for collectivity”. Maka, rakyat memiliki kekuatan sebagai control dari demokrasi itu sendiri. Keberadaan rakyat menjadi sangat penting dan tonggak dari berdirinya sebuah Negara demokrasi. Rakyat menjadi subjek sekaligus objek dan berkuasa independensi dirinya sendiri. Timbulnya gagasan kedaulatan rakyat adalah sebagai reaksi dari adanya monopoli kekuasaan dan penyimpangan yang dilakukan terhadap rakyat.45 Meskipun demikian, Max Weber mendefenisikan negara sebagai sebuah komunitas manusia yang berhasil mengklaim monopoli penggunaan yang sah atas kekuataan fisik dalam sebuah teritori tertentu.46 Artinya, unsur paksaan menjadi unsur utama dalam sebuah negara. Jika tidak ada unsur paksaan ini maka negara akan menjadi lemah. Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab dari adanya transisi yang dilakukan oleh negara-negara di dunia dari diktator menjadi negara demokratis. Demokratisnya juga tergantung pada karakteristik dari pemerintah yang berkuasa atau bisa juga dilihat dari kebebasan yang diberikan kepada partai politik.[6]
________
[6] Ibid., hlm. 87-88.

Indonesia sebagai Negara dengan kedaulatan rakyat juga mengalami masa transisi. Dari masa pemerintahan Hindia Belanda menuju pemerintahan Soeharto terdapat proses perubahan yang berbeda bentuk dan menjadi bahan dari evaluasi pemerintahan zaman sekarang untuk menjalankan demokrasi yang ideal. Soeharto menjadi pengganti Soekarno sebagai pemimpin yang otoriter. Kediktatorannya menimbulkan berbagai pro dan kontra. Kebijakan yang terjadi tidak memperlihatkan adanya demokrasi. Misalkan dalam hal pengangkatan MPR dan DPR. MPR dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar sebelum amandemen menyebutkan bahwa MPR terdiri dari:
  1. Utusan Daerah
  2. Utusan Golongan Politik dan Golongan Karya
  3. Utusan Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata yang ditetapkan berdasarkan pengangkatan.[7]
________
[7] Ibid.

Meskipun pengangkatan anggota MPR adalah sebanyak sepertiga dari total semua anggota MPR, tetapi masih bisa ditolerir karena dipandang ABRI sebagai golongan. Namun, yang paling jelas direkayasa adalah pengangkatan DPR yang seharusnya melalui pemilihan umum. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 mengatur bahwa: Pengisian keanggotaan DPR dilakukan dengan cara Pemilihan Umum dan pengangkatan. Jumlah anggota DPR adalah 460 orang. Partai-partai tidak dibiarkan tumbuh berkembang seperti yang terjadi di Negara- Negara demokrasi. Pembatasan ini terlihat dari hanya diperbolehkannya ada dua partai dengan satu golongan karya. Ketiga partai inilah yang hanya boleh ikut dalam pemilihan umum. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi yang diatur dalam Pasal 28 D 1945. Negara menjamin kebebasan berkespresi yang artinya pendirian partai politik pun sebagai implementasi dari ekspresi ini seharusnya juga tidak dibatasi. Selain itu, pers juga tidak dibebaskan dalam menyampaikan pendapat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.[8]
________
[8] Ibid.

Pada akhirnya, pemerintahan Soeharto telah melahirkan beberapa permasalahan yang berhubungan dengan kekuasaan, yaitu: pertama, kekuasaan itu akan melahirkan ketidakadilan politik. Kedua, karena melakukan ketidakadilan politik maka akan menciptakan pula ketidakpuasan dan keresahan dalam masyarakat. Ketiga, ketidakpuasan dan keresahan yang berlangsung lama akan melahirkan gerakan antipati terhadap kekuasaan seperti protes, demonstrasi bahkan teror. Hal ini memperlihatkan gejala berjalannya demokrasi menuji otoriter, karena:
  1. Produk hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan kekuasaan. Salah satu tujuan kekuasaan adalah untuk mempertahankan usia kekuasaan. Dengan kekuasaan itu suatu pemerintahan melakukan apa saja yang dikehendakinya karena hukum telah dijadikan sebagai alat semata-mata.
  2. Usia kekuasaan presiden yang terlalu lama akan membuka peluang untuk disalahgunakan, karena semakin lama seseorang berkuasa maka semakin cenderung disalahgunakan. Sekurang-kurangnya pihak-pihak yang berada di sekitar kekuasaan akan memanfaatkan kekuaasaan untuk kepentingan pribadi maupun golongan.
  3. Terlalu dominannya peran militer dan dapat menimbulkan demokrasi tidak berjalan. Dominansi militer, walaupun ada kegunaannya tetapi melemahkan demokrasi sipil.[9]
________
[9] Ibid.

Soeharto yang menjabat selama hampir 36 tahun menjadi bukti dari adanya pengaruh dari lamanya seseorang dalam jabatan tertentu membuat adanya kesewenang-wenanngan, hukum dijadikan alat politik untuk mempertahankan kekuasaaan. Politik dan hukum mempunyai hubungan, namun politik semestinya adalah peletakan signifikansi hukum dan etika atas fenomena kekuasaan. Politik tanpa hukum adalah kekuasaan yang liar, sebaliknya hukum tanpa politik hanyalah keinginan tanpa kuasa untuk bergerak. Hal ini terlihat dari konfigurasi kekuasaan yang diciptakan oleh Soeharto yang menunjukkan kekuasaan yang otoriter dan sentralistik.

Pada masa Soeharto ini tidak ada pembagian kekuasaan baik dari internal eksekutif itu sendiri atau dari legislatif dan yudikatif. Soeharto berperan sentral dan paling berkuasa selama masa pemerintahannya. Baik militer, golongan karya, ormas-ormas tidak lepas dari pengaruh Soeharto. Produk hukum yang dibuat jika dikehendaki oleh Soeharto akan menjadi undang-undang. Karakter jawa pedalaman yang halus dan tidak menyukai kritikan ternyata berpengaruh pada tipe kekuasaannya.

Pembentukan UU yang baik, harmonis dan mudah diterima oleh masyarakat merupakan salah satu kunci utama dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Pasal 22A UUD NRI 1945 berbunyi: “ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang,”menjadi dasar dari hukum yang berkaitan dengan teknik perundang-undangan terutama pada aspek teknis perancangannya (legal drafting). Maka, di dalam proses pembentukannya itu pun juga berdasar kepada konfigurasi politik yang sedang digunakan pada pemerintah. Di dalam masa pemerintahan Orde Baru, banyak praktik yang dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan yang cenderung otoriter. Beberapa praktik yang dilakukan oleh Orde Baru, antara lain.
  1. Orde Baru mampu mengkonsolidasikan dan membentuk kewenangan militer (ABRI) dengan kewenangan politik. Pada masa ini, doktrin dwifungsi ABRI sangat melekat, yakni fungsi ABRI sebagai penjaga pertahanan dan keamanan Indonesia, dan juga fungsi ABRI di ranah sosial politik.
  2. Pemerintahan mengubah susunan pimpinan partai politik. Para pemimpin partai politik harus merupakan orang yang telah mendapatkan restu dari Presiden. Pada masa ini pula, Golkar dijadikan sebagai kendaraan politik bagi Orde Baru.
  3. Pemerintah mendesain ideologi Pancasila sehingga menjadi pembenar bagi rezim oteritarian. Pancasila juga digunakan sebagai asas tunggal sebagai “simbol pemersatu”. Pada masa ini, partai politik dan organisasi kemasyarakatan haruslah berasas Pancasila, dan tidak boleh yang lain.
Ketiga poin tersebut dinilai sebagai pondasi dasar yang diletakkan Presiden Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. ABRI diberdayagunakan, bahkan fungsinya ditambah untuk merambah ke ranah sipil. Pemilu dan partai politik pun di desain agar semua dapat diatur oleh pemerintah. Yang terakhir, adanya poros ABRI-Birokrasi-Golkar yang menjadi alat utama pada masa Orde Baru. Pada awalnya kekuasaan Presiden Soeharto sejak tahun 1966 sampai dengan 1971, relatif konstitusional dan demokratis. Setelah itu, mulailah terjadi pergeseran secara pelan-pelan menuju pemerintahan yang menyimpang dari demokrasi yang sebelumnya telah diwujudkan dengan baik. Oleh karena itu, sejak tahun 1971 dan seterusnya, mulai banyak produk hukum, terutama dalam bidang politik, yang menggambarkan bagaimana pilihan politik yang otoriter dapat tercermin pada produk hukum yang dikeluarkan.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Indonesia mempunyai masa pemerintahan yang beraneka ragam baik dari segi bentuk pemerintahannya, konfigurasi politik serta produk hukum yang dihasilkannya. Dilihat dari masa ke masa konfigurasi politik di Indonesia berubah-ubah sesuai dengan bentuk pemerintahan dan karakter kepemimpinannya. Pada masa pemerintahan Soeharto dengan karakteristik kepemimpinanya yang terkesan otoriter membuat produk hukum yang dihasilkan bersifat ortodoks dan konservatif. Setiap kebijakan harus bersumber dari atas dan tidak sensitif dengan kebutuhan rakyat sehingga lebih membuat bungkam masyarakat, kreativitas dikebiri dan kritik dibatasi. Rakyat terlihat hanya sebagai objek dari pemerintahan itu sendiri. Padahal dalam sebuah negara, pemerintah dan rakyat adalah dua komponen yang saling mendukung bukannya meniadakan dan mengatasbawahi. Di negara-negara lain pun yang menganggap dirinya demokrasi selalu memberikan kebebasan yang bertanggungjawab kepada masyarakatnya sehingga masyarakat juga turut serta dalam pembangunan nasional. Maka, sudah tidak zamannya lagi untuk menjadikan rakyat sebagai sebuah fenomena keterbelakangan politik yang memunculkan otoriter dari pemerintah, kritik dan saran adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi oleh setiap pucuk pimpinan yang seharusnya sudah disadari jauh sebelum mereka mencalonkan diri sebagai pemimpin negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ryan Muthiara Wasti, “Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum Pada Masa Pemerintahan Soeharto di Indonesia”, Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia

Komentar