-->

Asas-asas Umum Dalam Jinayah - Prof. Dr. Drs. H. Makhrus Munajat

Tidak ada komentar

Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam.
Kali akan dijelaskan apa itu Asas Legalitas dan Sumber Hukum Asas Legalitas, Penerapan Asas Legalitas, Asas Tidak Berlaku Surut, Asas Praduga Tak Bersalah pada buku Hukum Pidana Islam yang ditulis oleh Prof. Makhrus Munajat. Asas legalitas dan sumber hukum asas legalitas terdapat pada bab 2 dalam buku beliau. Bab tersebut berjudul 'Asas-asas Umum Dalam Jinayah'.
.

ASAS LEGALITAS

Kata asas dalam bahasa Arab berarti dasar atau prinsip. Sedangkan legalitas dalam bahasa latin disebut dengan lex yang berarti undang-undang. Legalitas berasal dari kata jadian legalis yang berarti sah. Maka arti legalitas adalah 'keabsahan sesuatu menurut undang-undang'.
.
Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya di Indonesia sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi, "suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan peraturan perundang-undangan pidana."
.

SUMBER HUKUM ASAS LEGALITAS

Adapun dalam hukum Islam juga menganut asas legalitas, hal ini terbukti dengan adanya ayat-ayat di dalam Al Qur'an yang menjelaskannya. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam adalah berikut :
  • Al Qur'an dalam Surat al-Isra' [17] ayat 15

وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا ...

... dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul.
  • Al Qur'an dalam Surat al-Qasas [28] ayat 59

... وما كان ربك مهلك القرى حتى يبعث في أمها رسولا يتلوا

Dan Allah tidak akan menghancurkan penduduk suatu negeri sebelum diutusnya Rasul di tengah-tengah mereka untuk membacakan ayat-ayat Kami ...
  • Al Qur'an dalam Surat al-An'am [6] ayat 19

... وأوحي إلي هذا القرآن لأنذركم به ومن بلغ ...

... dan Al-Qur'an ini diwahyukan kepadamu supaya dengannya Aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya) ...
  • Al Qur'an dalam Surat al-Baqarah [2] ayat 286

... لا يكلف الله نفسا إلا وسعها

Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya ...
Kemudian para fuqaha merumuskan kaidah-kaidah hukum Islam yang diambil dari substansi ayat-ayat tadi. Berikut rumusannya :
  • Tidak ada hukuman bagi perbuatan orang berakal sebelum adanya ketentuan nas.
  • Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas.
  • Pada asalnya semua perkara dan perbuatan adalah diperbolehkan kecuali adanya dalil yang mengharamkan atau melarang perbuatan tersebut.
  • Sikap berbuat atau sikap tidak berbuat tidak bisa dikatakan jarimah apabila tidak ada larangan dan perintah pada nas. Apabila nas tidak mengaturnya maka perbuatan seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana dan tidak dapat dipidana.
Berdasarkan ayat-ayat Al Qur'an tadi dan rumusan para fuqaha mengenai kaidah-kaidah pokok hukum Islam, dapat disimpulkan ada dua syarat yang harus terpenuhi bagi seseorang maupun perbuatan sehingga dikategorikan sebagai perbuatan hukum pidana. Berikut dua syarat tersebut :
.
1. Syarat yang berkaitan dengan sifat mukalaf
  • Sanggup memahami nas syara' yang berisi taklif (pembebanan) baik perintah maupun larangan. Orang gila tidak termasuk mukalaf.
  • Pantas dimintai pertanggungjawaban pidana dan dapat dijatuhi hukuman. Maka orang yang dipaksa dan karena membela diri tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.
2. Syarat yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf (ada unsur yang harus terpenuhi).
  • Perbuatan ini mungkin sanggup untuk dikerjakan atau ditinggalkan.
  • Perbuatan itu dapat diketahui oleh mukalaf secara sempurna (jelas memahami apabila melanggar larangan atau meninggalkan perintah akan ada ancaman hukuman).
Maka kesimpulannya adalah hukum Islam sudah sejak awal mengatur tentang hukum legalitas sebelum hukum positif (abad XVII - Revolusi Perancis tahun 1879).
.

PENERAPAN ASAS LEGALITAS

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa tidak ada hukuman bagi perbuatan mukalaf apabila tidak ada nas yang mengaturnya. Maka dapat diartikan bahwa hukum pidana Islam dapat berlaku apabila ada nas yang mengaturnya. Dengan kata lain, hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku surut, yang dalam perkembangannya melahirkan kaidah, "tidak berlaku surut pada hukum pidana Islam." Sebagai contoh adalah berikut :
.
Beristrikan Bekas Ibu Tiri
  • Saat itu ada sebuah kasus ketika Abu Qais bin Aslat meninggal dunia, istrinya akan dinikahkan dengan anaknya sendiri, yaitu Qais. Kemudian istri itu berkata kepada Rasulullah, "Dia kuanggap seperti anakku sendiri. Maka bagaimana pendapatmu?" Karena saat itu menikahi bekas istri ayahnya merupakan budaya Arab maka Rasulullah menyuruhnya pulang terlebih dahulu, lalu turun surat an-Nisa [4] ayat 22 :

ولا تنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء إلا ما قد سلف إنه كان فاحشة ومقتا وساء سبيلا

Janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali apa yang telah lewat, sesungguhnya perbuatan itu adalah keji, dibenci dan seburuk-buruk jalan.
  • Setelah ayat tersebut turun maka disimpulkan bahwa menikahi bekas istri ayahnya merupakan pelanggaran hukum. Karena hukum pidana Islam tidak berlaku surut maka perbuatan orang yang sebelumnya sudah terjadi tidak akan dikenai hukuman. Hukuman akan berlaku setelah diturunkannya ayat tersebut.
  • Kemudian kesimpulan yang kedua adalah karena perkawinan dalam segi keperdataan merupakan bentuk perjanjian, maka perikatan tersebut harus diputuskan (diceraikan). Berlaku juga bagi poligami yang melebihi istri empat. Maka dalam segi keperdataan hukum Islam menganut sistem berlaku surut. Berbeda dengan pidana yang tidak mengenal sistem berlaku surut.
.
Hukum Riba
  • Riba adalah budaya Arab pada masa jahiliyah. Waktu itu riba membuat berbagai permasalahan. Dimana istri dan anak gadisnya dijadikan tebusan untuk melunasi riba. Dan jika tidak memiliki istri apalagi anak gadis, ia akan dijadikan budak oleh si periba. Dan saat itu juga banyak terjadinya perampokkan kepada si periba, hingga akhirnya si periba menyewa pengawal. Karena pengawal juga harus dibayar oleh si periba maka periba menaikkan bunga riba atas piutangnya. Maka dari itu Islam datang untuk menghapus sistem riba tersebut.
  • Karena Islam melarang adanya riba maka riba termasuk perbuatan pidana sekaligus perdata. Orang yang telah melakukan riba sebelum turunnya nas-nas yang mengatur tentang riba (surat al-Baqarah [2] ayat 275, 278, dan 279) tidak akan dikenai hukuman karena hukum pidana Islam tidak mengenal berlaku surut. Namun dalam sistem perdatanya berlaku surut. Orang yang mengutangi hanya berhak mendapatkan uang pokoknya saja. Dan yang terutang hanya berhak membayar uang pokok yang ia pinjam tersebut. Artinya tidak ada bunga setelah nas-nas yang mengatur riba turun, walaupun mereka sudah saling bersepakat sebelumnya.
.

ASAS TIDAK BERLAKU SURUT

Dalam hukum pidana Islam memang tidak mengenal sistem hukum berlaku surut. Namun pada praktiknya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku surut. Artinya perbuatan itu akan dianggap jarimah walaupun belum ada nas yang mengaturnya. Hal tersebut disebabkan karena jarimah-jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak diberlakukan berlaku surut akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan di kalangan muslim. Berikut adalah jarimah-jarimah yang berlaku surut :
  • Jarimah Qazf (Menuduh Zina) - Pertama kali diatur dalam surat an-Nur [24] ayat 4. Sebab turunnya ada yang mengatakan sebelum Aisyah difitnah melakukan zina. Dan ada pula yang mengatakan kalau itu setelah terjadinya pemfitnahaan terhadap Aisyah. Fitnah itu terbukti salah, maka orang yang memfitnah tadi dikenai hukuman jilid delapan puluh kali. Jika ayat tersebut turun setelah difitnahnya Aisyah maka ayat tersebut menerapkan sistem berlaku surut.
  • Jarimah Hirabah - Yang mangatur nas tersebut pada ayat al-Qur'an surat al-Maidah [5] ayat 33 yang berbunyi, "Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi ialah agar mereka dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki secara bersilang atau diasingkan dari bumi, itu semua adalah balasan bagi mereka di dunia dan di akhirat adalah siksa yang pedih." saat itu ayat tersebut turun setelah dibantainya penggembala unta. Begini singkat ceritanya; Ada sekumpulan Bani Ukl (Urainah) yang menyatakan masuk ke dalam Islam. Lalu mereka sakit, Rasulullah menyarankan mereka tinggal dengan penggembala unta yang bernama Bissar dan meminum susu-susu unta tersebut. Ketika mereka sudah sembuh karena susu unta tersebut, mereka membunuh si penggembala unta dan menghalau semua untanya. Akhirnya Rasul mendengar kabar tersebut dan mengirim orang untuk menangkap mereka, lalu menyiksa mereka hingga mati semua. Hal tersebut merupakan jarimah berlaku surut. Alasannya adalah untuk memelihara keamanan dan ketentraman masyarakat. Jarimah yang berlaku surut hanya berlaku pada jarimah-jarimah yang berbahaya dan sangat menganggu kepentingan umum.
.

ASAS PRADUGA TAK BERSALAH

Setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika ada keraguan yang beralasan maka seorang tertuduh harus dibebaskan. Sebagaimana dalam hadis riwayat At-Tirmizi (Sunan at-Tirmizi - Mesir Dar al-Bab al-Halabi, 1963, IV: 33) Rasulullah bersabda, "Hindarkan bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah, lebih baik salam dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum." Keputusan harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya keraguan.
.
Abd al-Qadir memberikan contoh tentang keraguan dalam kasus pencurian. Misalnya pencurian kepemilikan harta bersama. Jika seseorang mencuri harta yang ia miliki bersama orang lain maka hukuman hadd bagi pencuri tidak valid. Karena dalam kasus tersebut bisa saja harta yang ia ambil itu merupakan hartanya. Maka terjadi keraguan disitu. Seperti dalam contoh kasus seorang ayah yang mencuri harta milik anaknya. Rasulullah bersabda, "anta wamaluka liabika", (engkau dan hartamu adalah milik ayahmu). Maka pantaskah seorang ayah disebut pencuri karena mengambil harta milik anaknya. Toh anak sendiri merupakan milik ayahnya, begitu juga dengan hartanya.
.
Sumber :
  • Hukum Pidana Islam (buku) - Prof. Makhrus Munajat

Komentar